Silsilah Fiqih Pendidikan Anak – No: 117
METODE PEMBELAJARAN ANAK DI RUMAH Bag-11
Dengan mengetahui metode pembelajaran yang baik, diharapkan proses pendidikan berlangsung setiap waktu, tanpa anak merasa terus digurui dan orang tua tidak merasa terbebani. Pada pertemuan sebelumnya telah dibahas bahwa metode ketujuh adalah motivasi berupa hadiah dan hukuman. Saat itu telah dijelaskan beberapa rambu agar hukuman efektif. Berikut kelanjutannya:
- Standarkan pemberian hukuman pada perilaku
Penting sekali untuk bisa membedakan antara “perilaku” dengan “pelaku”. Standar pemberian hukuman sebaiknya berawal dari penilaian terhadap perilaku anak, bukan pelakunya.
Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah. Atau memiliki tabiat untuk menerima kebaikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ“
“Setiap bayi lahir dalam keadaan fitrah”. HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah.
Maka semestinya kita memiliki keyakinan bahwa walaupun melakukan kesalahan, sejatinya anak tetap sebagai pribadi atau “pelaku” yang baik.
Akan terasa bedanya antara dua komentar berikut:
“Dasar pembohong! Sudah jelas uang itu ditemukan dalam tasmu, masih juga belum mengaku mencurinya?”.
Bandingkan dengan komentar ini: “MasyaAllah nak, kamu berbohong pada mama? Uang itu kan ditemukan dalam tasmu? Tapi mama tahu, kamu anak baik dan ksatria. Suatu saat nanti akan mau mengakui kesalahanmu”.
Cara terakhir ini insyaAllah lebih aman. Karena ketika kita harus memberikan hukuman, mereka tahu bahwa kita memang menyalahkan perbuatannya, tapi tetap menghargai dan tidak menjelek-jelekkan pribadinya. Dengan demikian mereka merasa memperoleh kepercayaan, bahwa di lain waktu, bisa memperbaiki kesalahan. Ini adalah modal awal yang menjadi bibit tumbuhnya motivasi memperbaiki diri dalam hati anak.
- Hukumlah tanpa emosi
Pemberian hukuman itu ada tujuannya. Bila salah niat, maka hasilnya pun akan negatif. Contoh kesalahan tersering adalah menghukum dengan tujuan untuk melampiaskan emosi. Alih-alih bakalan menghasilkan kesadaran pada diri anak. Justru yang ada adalah akan menimbulkan perasaan dendam.
Sebagian besar anak yang melakukan kesalahan, sebenarnya mereka tahu akan kesalahan yang mereka perbuat. Sehingga mereka hanya memerlukan sedikit peringatan, juga pengertian dan pemahaman terhadap kesalahan yang mereka perbuat. Selanjutnya yang diperlukan adalah bimbingan untuk memperbaiki diri. Sama sekali tidak diperlukan kemarahan dan emosi berlebihan di sini.
Saat anak melakukan kesalahan, emosinya berada dalam keadaan labil. Kurang efektif bila saat itu kita memberikan nasehat panjang lebar. Juga mengungkit-ungkit kesalahannya. Apalagi menjatuhkan hukuman fisik berlebihan. Dalam kondisi emosi labil, anak merasakan nasehat yang didengarnya hanya sebagai kecerewetan dan omelan yang menyakitkan.
Lebih baik kita menunda nasehat. Sambil mencari waktu dan cara yang tepat dan efektif. Pilihlah waktu di mana emosi anak sedang cerah, santai dan gembira. InsyaAllah anak lebih mudah untuk menerima nasehat. Apalagi bila cara penyampaiannya, tidak menggurui dan tidak menyudutkan. Tapi memberi kesempatan dialog terbuka dengan mereka.
Kalau nasehat saja bisa ditunda, bila situasi dan kondisinya kurang mendukung, apalagi hukuman? Bersambung…
@ Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 1 Dzulhijjah 1439 / 13 Agustus 2018